Bunyi, Waktu dan Alam Semesta

Gong Ex Machina performed by Teater Garasi. Gedung Kesenian Jakarta, 29/11/2018.

Suara gemericik air yang menenangkan diantara asap tebal yang muncul dari kiri-kanan panggung memberikan sensasi tersendiri bagi para pengunjung Gedung Kesenian Jakarta malam itu. Gong Ex Machina, judul dari pementasan teater kontemporer persembahan Teater Garasi yang disutradarai oleh Yudi Ahmad Tajudin berkolaborasi dengan seniman bunyi dan komposer asal Jepang, Yasuhiro Morinaga menjadi salah satu pertunjukan yang wajib ditonton di Tahun 2018 ini.  Betapa tidak, disaat para kaum millenial sibuk menghabiskan uang saku hanya untuk nongkrong di warung kopi atau kafe-kafe mahal atas nama prestige dan gaya hidup, pertunjukan-pertunjukan eksperimental yang membawa isu-isu dekat dengan kaum urban saat ini mampu menjadi media hiburan alternatif bagi warga metropolitan yang merasa jenuh oleh rutinitas-rutinitas yang mereka jalani sepanjang waktu.

Morinaga, dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam beberapa kebudayaan Asia Tenggara, gong adalah media untuk berkomunikasi kepada entitas supranatural, termasuk para arwah leluhur, para dewa atau bahkan Tuhan itu sendiri. Pertunjukan Gong Ex Machina dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada 29-30 November 2018 sebagai bagian peringatan 60 tahun hubungan diplomatik antara Jepang dan Indonesia.

Suara dentuman-dentuman Gong seketika membuyarkan lamunan penonton atas merdunya bunyi gemericik air yang hadir di adegan-adegan pertama. Dari tengah-tengah penonton, muncul segelintir orang yang memikul Gong di pundaknya, berjalan perlahan menuju panggung proscenium.  Sementara itu, sang narator berdialog kepada penonton tentang asal muasal bunyi, nebula dan penciptaan alam semesta yang juga secara visual ditampilkan dengan apik bernuansa wayang dan makhluk-makhluk yang tercipta saat itu. 

Suasana panggung berubah seketika saat bunyi gong berpadu dengan musik dan berbagai macam bunyi-bunyi yang memiliki frekuensi berbeda dihadirkan memekakkan telinga. Menariknya, bunyi-bunyian itu tak hanya bersumber dari panggung namun juga dari kiri, kanan dan belakang penonton. Inilah konsep tata suara 3D-immersive yang terdengar menyeluruh dan memenuhi ruangan dari segala penjuru yang ditata sedemikian rupa oleh penata suara kenamaan dari Jepang, Tetsushi Hirai. Adegan mulai mencapai klimaks ketika tata cahaya yang menyilaukan mata dengan padu dihadirkan bersama kerasnya bunyi-bunyian hingga kemudian hadirlah gramophone yang datang dari atas panggung. Respons jenaka para aktor dalam memaknai datangnya gramophone-grampohone itu memberi suasana komedi yang cukup menggelitik, mengingat suasana yang dibangun dari awal pertunjukan cukup magis dan mencekam.

Sang narator kemudian menjabarkan tentang penemuan-penemuan teknologi dan segala perkembangannya mulai dari zaman Yunani Kuno hingga zaman Napoleon. Beberapa tokoh membawa buku sebagai simbol ilmu pengetahuan. Ada pula sosok misterius berselimut putih tebal hadir diantara pemain. Siapakah dia? Apakah dia adalah Dewa yang selama ini dipuji-puja?

Gerak tubuh dan peristiwa-peristiwa yang penuh imaji dan metafora dengan perpaduan bunyi dan emosi penuh makna mempengaruhi respons setiap aktor untuk bergerak di atas panggung. Tak heran jika pementasan Teater Garasi kali ini disebut dengan teater bunyi. Dalam pementasan ini, bukanlah naskah lakon yang diciptakan sedemikian rupa untuk menjadi sumber garapan pertunjukan namun justru lebih menekankan pada bagaimana para aktor memaknai komposisi yang ada dalam bunyi-bunyian tersebut.

Adegan demi adegan berlangsung. Meskipun pertunjukan ini bukanlah teater realis dengan struktur dramatiknya yang jelas dan mudah dimengerti oleh orang awam, namun Yudi Ahmad Tajudin mampu menghadirkan transisi-transisi adegan yang jelas, lugas dan smooth sesuai dengan paduan konsep artistik, musik dan gerak para aktor. Ketika kemudian suara-suara jangkrik dan sunyinya nuansa pedesaan di malam hari hadir di atas panggung sementara para aktor duduk bersila, makan malam dengan piring seng yang khas dengan suasana jaman dulu, para penonton secara tidak langsung dibawa nostalgia mengingat memori-memori masa lalu melalui bunyi dan visual yang hadir pada saat itu.

Puncak klimaks selanjutnya dibangun dengan hadirnya bunyi-bunyi tembakan, pesawat tempur, suara bom, meriam dan sirine yang bersahut-sahutan sementara suasana panggung menjadi merah menghadirkan kesan yang mencekam. Dari lubang gramophone tiba-tiba muncul asap dan asap-asap lain hadir dari segala penjuru memenuhi panggung. Bendera merah dan bendera putih hadir di atas panggung sebagai simbol peperangan. Emosi penonton dipermainkan sedemikian rupa tentang bagaimana bunyi sangat mempengaruhi setiap hal dalam kehidupan kita. Dari syahdu, merdu, hingga kemudian menjadi mala petaka yang memekakkan telinga dan meneror jiwa.

Seorang wanita hadir melantunkan nyanyian-nyanyian pilu sambil memukul-mukul gong. Suaranya yang merdu sangat padu dengan bunyi-bunyian yang membawa kita pada pertanyaan mendasar tentang kemanusiaan: mengapa kita terus berperang? Munculnya golongan-golongan sosialis, komunis, nasionalis dan libelaris yang membuat bumi menjadi terkotak-kotak oleh kepentingan ekonomi, politik dan sosial yang tak pernah ada habisnya. Berbagai macam agama lahir di muka bumi yang walaupun berbeda-beda namun pada dasarnya mengajarkan kebaikan, kepatuhan kepada Sang Pencipta. Namun mengapa kita terus berperang?

Diantara penonton yang bertanya-tanya tentang adegan demi adegan yang terjadi dengan cepat di atas panggung, pementasan Gong Ex Machina ini merupakan suatu wujud refleksi kita sebagai manusia bagaimana kita memaknai bunyi, ruang, waktu dan alam semesta yang secara dinamis berkembang pesat searah dengan perkembangan teknologi. Diantara segala permasalahan kemanusiaan yang hadir di tengah-tengah kita saat ini, apakah kita masih ingat kepada Tuhan, pencipta alam semesta? Tuhan manakah yang selama ini kita dengar dan menggerakkan kita?

***

Jakarta, 29 November 2018

Mahabarata Millenial ala Teater Koma

koma

Kisah asmara para dewa dipentaskan oleh Teater Koma dalam produksinya yang ke-154 di Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sejak layar dibuka, penonton disajikan dengan nyanyian magis nan merdu sosok-sosok putih yang memenuhi panggung dengan syair-syair tentang asal muasal alam semesta.

Pementasan Maharabarata kali ini ternyata bukan menguak tentang perang Bharatayuda antara Pandawa dan Kurawa, namun jauh sebelum itu – yakni asal muasal penciptaan dewa dan ras wayang yang ternyata berawal dari sebuah telur emas yang lahir dari rahim Dewi Rekatawati, Istri Hyang Tunggal. Dari telur itu, cangkang telur berubah menjadi Antaga; putih telur menjadi Ismaya; kuning telur menjadi Manikmaya sedangkan ari-ari telur berubah menjadi Narada. Para catur dewa itulah yang nantinya akan menjadi nenek moyang ras wayang kelak.

Ini adalah kali kedua Teater Koma memadukan multimedia dan visual art sebagai bagian dari pertunjukan yang berlangsung selama 4 jam. Pun demikian, set properti yang besar dan mewah tetap menghiasi panggung. Mamoth raksasa dan lembu Andhini yang imut layaknya binatang bergerak yang biasa ditunggangi anak-anak di mall menjadi suatu eksperimental yang menggelitik dan memiliki daya tarik tersendiri.

Kostum mewah dan make up fantasi dengan berbagai topeng dari jenis raksasa sampai bidadari dihadirkan secara apik dan terkonsep sehingga menyatu dengan lighting dan multimedia. Perpindahan set yang rapi, singkat dan seirama dengan musik selalu menjadi salah satu kelebihan teater koma yang jarang dijumpai di kelompok-kelompok teater manapun.

Kehadiran visual art yang memanjakan mata sayangnya tidak selalu seirama dengan adegan yang berlangsung. Seperti misalnya pada adegan ketika Antaga dan Ismaya berlomba-lomba menelan gunung untuk membuktikan siapa yang lebih sakti, alih-alih mendukung gerak eksplorasi tubuh para aktor yang berusaha meyakinkan penonton bahwa mereka berhasil memasukkan sebuah gunung ke dalam tubuh mereka, tampilan visual di belakang panggung justru terkesan statis dan kurang memikat.

Begitu juga ketika silamnya para pemain yang dalam beberapa adegan menuruni panggung proscenium menuju pintu keluar penonton di sebelah kiri kanan panggung terkesan mati karena tidak didukung cahaya yang mengiringi kepergian mereka.

Sementara itu, adegan dimana Gading Permoni keluar dengan wujud kebinalannya sangat pas ditampilkan secara visual pada layar tambahan di bibir proscenium sebelumnya akhirnya hadir secara fisik menggoda Batara Guru.

Musik-musik yang mendukung pertunjukan hadir secara padu dan merdu di setiap adegan yang berlangsung. Sayangnya, dalam beberapa adegan klimaks dimana tempo dan beat musik sudah mulai memuncak, beberapa aktor kurang bisa menghadirkan aksi reaksi antara irama gerak tubuh dan musik yang sedang berlangsung.

Di akhir pertunjukan, nyanyian-nyanyian para pemain untuk menyembah Idajil – sang Iblis kurang terasa mencekam dan nyanyian yang sesungguhnya memiliki makna dan pesan mendalam dibalik liriknya tak berhasil sampai ke telinga penonton karena timbul tenggelam bertabrakan dengan musik yang berkumandang keras sehingga penonton menyisakan cukup banyak tanya tentang apa yang sesungguhnya terjadi di adegan akhir pementasan.

Namun demikian, kita patut mengapresiasi konsistensi dan stamina para aktor dan tim panggung yang tampil secara berturut-turut selama 10 hari dari tanggal 15-25 November 2018. Seperti filosofi dari namanya, teater koma ternyata tak hanya mampu menyajikan karya secara berkelanjutan, senantiasa berjalan dan tak mengenal titik namun juga senantiasa berinovasi, mencoba dan meramu segala hal baru yang kadang tak pernah terpikirkan akan menjadi suatu kesatuan yang padu dalam sebuah pementasan teater yang berhasil memikat hati kaum urban.

***

Hadiansyah Aktsar

Jakarta, 23 November 2018

Macbeth yang Mencekam Namun Penuh Melodi


“Hidup hanyalah dongengan tolol yang penuh kasak-kusuk, tetapi tak ada artinya. Inilah penghianatan ghaib yang menjelma menjadi kenyataan. Aku mulai jemu pada matahari. Aku ingin ada kiamat hari ini. Nujuman terhadapku ternyata adalah kutukan..”


  

Demikianlah sedikit cuplikan monolog pada pementasan Tommorow as Purposed karya Melati Suryodharmo sebagai salah satu rangkaian acara pembukaan Indonesian Dance Festival 2016 pada 1 November 2016 lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

Pertunjukan ini diawali dengan suara gendang yang ditabuh secara perlahan kemudian semakin keras dan saling bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, tiga orang penari dari samping kiri panggung dan tiga penari lainnya dari kanan panggung dengan perlahan memasuki panggung sesuai dengan ritme suara gendang.

Penonton dibuat semakin penasaran ketika kemudian muncul sosok wanita dengan gaun merahnya yang menyala memasuki panggung proscenium dengan membawa hati sapi yang dibalut dengan kain yang juga berwarna merah. Dengan mimik dan langkah yang mencekam, ia berjalan perlahan tapi pasti menuju level paling atas panggung.

Tomorrow as Purposed, yang menjadi judul pertunjukan ini merupakan kata-kata seorang penyihir dalam lakon Macbeth karya William Shakespeare yang meramalkan bahwa pada suatu saat nanti Macbeth akan menjadi seorang raja. Ramalan ketiga penyihir itulah yang kemudian memberikan ambisi Macbeth untuk merebutkekuasaan Raja Duncan dengan cara membunuhnya.

Melati Suryodarmo yang memiliki latar belakang sebagai seorang performer arts, telah berkecimpung di ranah seni rupa dan performing arts sejak 1994 silam. Melatifokus terhadap bidang studi konsep ruang dan performing arts yang ia dalami dari Hochschule fuer Bildende KuensteBraunscweig (HBK) Jerman. Selama lebih dari 20 tahun, Melati telah menampilkan karya-karya performance-nya di berbagai festival Internasional dan juga aktif berpartisipasi di berbagai pameran-pameran seni rupa di berbagai Negara.

Melalui pertunjukan ini, Melati berhasil memadukan unsur-unsur teater, tari, musik, paduan suara dan performing arts secara apik dan konseptual. Menurutnya, di era yang serba modern ini masih banyak fenomena yang terjadiantara perebutan kekuasaan dengan dunia supranatural.

Kesan mistis dan mencekam sangat terasa selama pertunjukan berlangsung. Terlebih ketika lima orang penari dengan busana serba hitam memasuki bagian depan panggung dan seketika ratusan paku-paku kecil seolah-olah keluar dari tubuh mereka. Adegan-adegan pertarungan kerap ditampilkan parapenari dengan golok asli yang ada di tangan mereka sedangkan tarian-tarianmetafora yang memperagakan adegan-adegan pembunuhan keji dengan tanpa diingiringi musik apapun sehingga kesan magis semakin terasa diantara kesunyian yang membuat merinding para penonton yang menyaksikannya.

Di sisi lain, penonton dibuat menganga olehnyanyian-nyanyian merdu penuh harmoni yang dibawakan oleh Paduan Suara VocaErudita dari Universitas Sebelas Maret, Solo. Paduan suara ini tidak hanyamenampilkan koor pada umumnya yang hanya berdiri di atas panggung, namun juga menjadi bagian dari pertunjukan yang ada dengan melakukan gerakan-gerakan dan perpindahan bloking sesuai tokoh yang mereka perankan di adegan demi adegan.

Tarian-tarian kontemporer yang ditampilkan di setiaptransisi juga terasa pas. Kali ini, Melati berkolaborasi dengan para penariyang sudah tak asing lagi namanya di dunia seni pertunjukan seperti Cahwati, Luluk Ari, Retno Sulistyorini dan Agus Mbendol. Sedangkan penataan musik dalampertunjukan ini dibantu oleh seorang komponis asal Jepang, Naoki Iwata alias SKANK.

Pertunjukan yang berlangsung selama kurang lebih 120 menit ini secara umum sangat menarik dan layak untuk dikaji lebih dalam. Hal ini dikarenakan setiap karya-karya Melati selalu mengandung nilai pesan filosofis yang tidak secara eksplisit ditunjukan pada performing arts yang ditampilkan.

Pertunjukan Tommorow as Purposed ini tidak hanya menampilkan sebuah gagasan seorang seniman dalam mengangkat sebuah tema, namun juga menampilkan kemahiran Melati dalam mengatur komposisi gerak, suara dan juga ritme dan tempo pertunjukan. Terkadang penonton diberi waktu untuk tidak mendengarkan apa-apa selain gerak tubuh para penari, namun sesekali dentuman musik yang keras cukup memekakkan telinga.

Sekali lagi, Melati berhasil memvisualisasikan sebuah kekuasaan, ketamakan manusia dan kelaliman penguasa dalam setiap unsur gerak tubuh, musik dan akting yang dibawakan oleh para lakon.

*****

Hadiansyah Aktsar

Jakarta, 2 November 2016

Kopi Rasa Hidup

34658_1549736344859_1278612545_31549650_7137747_n

Anggaplah hidup adalah kopi yang kita seduh setiap pagi,

Yang tak kita pesan sendiri.

Yang dengan suka rela,

kita reguk cairan pahit manis yang mengalir di kerongkongan.

Mungkin sebenarnya kita tak suka.
Hanya saja rasa itu begitu akrab di lidah kita.
Begitu akrab di dada kita.
Begitu akrab di pikiran kita.

Rasa hidup.

Hidup yang kita kecap.
Yang berdesir di dalam sana, yang kita reguk dengan rakus.
Atau hanya menyesap perlahan.

Dunia ini sejenak katanya.
Bumi yang menua kata para ilmuwan.
Dan mereka. Termasuk aku. Kamu. Kalian.
Adalah peminum.

Inilah nyata. Inilah fana.

Inilah mungkin omong kosong.

***

Edited and Reblogged from: http://acupofel.com/

Sajak Sore Hari

“Some memories will bring you back far and deep to the past…”

Bandung. Aku kembali lagi.

Kali ini tidak lagi seperti itu. Tidak segalau dan segundah waktu itu.

Sometimes, I wonder why God let us to keep some of our memories and feelings. Why can’t we just dump it or forget it just like it never happened?

Gue pernah ngebahas hal ini sebelumnya, “Perbandingan Logika dan Perasaan itu berbanding terbalik. Dan bahwa ketika logika kita sedang berada di puncak, maka emosi atau perasaan kita akan tidak akan mendominasi otak untuk melakukan hal-hal yang diperintah si perasaan. Begitu sebaliknya.

Dan kali ini, gue datang ke Bandung emang karena ada “tugas” dari IKJ untuk “menghancurkan” dan “memporak-porandakan” Pasar Seni ITB 2014. Kami para binatang-binatang IKJ datang dari Jakarta dengan gaya dan property kami yang heboh sekaligus unik itu.

Tapi gue selalu ingat kata-kata yang ada di film “LOVE”.

“Nama tempat, nama orang atau nama kejadian adalah hal-hal yang lambat laun bisa terlupa. Tapi tidak dengan rasa. Rasa senang, rasa sedih yang terus kita bawa  tanpa mudah tercecer di sepanjang perjalanan kita. Dan, semakin kita dewasa, kita akan tahu bahwa ada satu rasa yang paling besar dari itu semua, Cinta.”

Rasa, emosi dan gejolak yang pernah kita rasakan tak akan mudah terlupa di benak kita. Sejauh apapun kita melangkah, sepanjang apapun waktu berlalu, kita akan masih teringat dengan rasa itu.

Dan aku merasakannya. Di tiap inchi dan sudut-sudut kota Bandung yang dingin, aku merasakannya. Ada getaran yang tak tersampaikan, ada kata-kata yang belum sempat terucap. Ada rasa yang masih bimbang namun terlalu bergejolak untuk menyeruak.

Bandung. Sampaikan salamku padanya.

Sampai suatu saat nanti ketika semuanya siap, pantas dan layak untuk diungkapkan.

Bandung. Aku akan selalu rindu padamu.

Bandung, 23 November 2014

Mengapa Ahok & Jokowi Dibenci?

AyoKupas

Setelah era Soeharto pasca 1998, tidak ada lagi kekuatan politik dominan. Siapa pun yang berkuasa harus berbagi. Jika tidak, yang lain akan bersatu dan merongrong. Ketegasan dipelintir menjadi anti-demokrasi. Karena itu organisasi ‘swadaya’ dibentuk sebagai pasukan garis depan

View original post 857 more words

Jakarta, I’m Coming Home

It’s not about how far you can go. It’s about how hard you fight to get further. -Abu Dhabi, 22 Mei 2014.

20131121_Etihadplane_relax

Pesawat Etihad Airways baru saja mendarat di salah satu bandara tersibuk di Republik ini. Segera kulangkahkan kakiku menyeruak diantara kerumunan manusia sesak yang punya kesibukan dan tujuan mereka masing-masing. Mulai dari sopir taksi yang teriak-teriak nawarin jasanya – tukang jualan kripik yagng lagi keliling menjajakan dagangannya – rombongan ibu-ibu bekerudung dan bapak-bapak yang pake baju serba putih – sampai mbak-mbak cantik berpakaian seksi berkaca mata hitam yang kelihatannya mau liburan ke Bali.

Jakarta. Aku pulang.

Masih dengan semangatku yang tak pernah padam, aku melangkah keluar bandara mencari sopir dari Hotel yang akan menjemput. Tapi kali ini aku merasakan sensasi yang berbeda. Gak seperti waktu Juli 2010 lalu yang excited habis pulang dari Eropa sendirian atau juga gak seriang Agustus 2011 lalu yang penasaran sama Indonesia setelah ninggalin ke Amerika selama setahun.

Kali ini, ada rasa “beda” yang aku rasakan di lubuk hati yang terdalam. Seperti ada “kehampaan” tapi sekaligus “harapan” dan “kebahagiaan” yang campur aduk karena detik ini aku berada di sini, di tempat yang sebenarnya gak pernah aku bayangin bakal ketemu lagi secepat ini.

Ya. Jakarta. Aku pulang.

Kali ini aku membawakanmu lebih banyak cerita. Lebih banyak emosi. Lebih banyak memori.

Bahkan, aku sudah bersumpah tak akan pulang dulu kesini.

Tapi aku tahu, aku sadar. We are only human who can make and create plans whatever we want, but God is the only one who knows the best in us and guide us a better way. Always.

Kali ini tidak seperti waktu itu. Reverse Culture Shock yang aku alami tentunya gak sehebat waktu itu. Karena memang Amerika dan Indonesia bisa dibilang sangat berbeda.

Bahrain dan Indonesia memang berbeda. Aku bisa merasakannya. Tapi gelut emosi yang berbeda inilah mungkin yang membuat semua ini tak se-“wow” atau seheboh dulu.

Bersyukur karena bisa kembali lagi ke tanah air, langsung kuserbu tukang sate ayam depan Sarinah. Aku lahap nasi dan sate ayam dengan kalapnya kayak orang yang sepuluh tahun gak pernah makan.Saking semangat dan belepotannya diriku, orang yang makan disampingku plus abang penjual satenya sampe melongo. Aku cuma bisa nyengir sambil minum air putih.

16 Mei 2014

Sengaja aku pilih check-in di Ibis Hotel Arcadia karena aku gak pengen ribet malam pertama di Jakarta ngerepotin di kost temen. Karena selain bawa koper segede gentong, aku harus ngehadiri wawancara visa di Kedutaan Amerika di Jalan Merdeka Barat.

Pagi ini, semua berkas Visa B-2 udah siap. Ini adalah perjuanganku terakhir (setidaknya untuk saat ini) untuk bisa kembali ke Negeri Paman Sam itu. Sakit hatiku yang masih terbawa-bawa karena visa B-2 ku ditolak mentah-mentah di Bahrain masih sedikit menghantui, meskipun masih ada secercah harapan yang muncul.

Dengan santai (tapi tetep aja deg-degan) aku di-interview dan ditanyai tujuanku apa ke Amerika. Aku jelaskan semuanya, kalo aku bakal ngehadiri wawancara buat studi di American Musical and Dramatic Arts di Los Angeles dan bla la bla. Dan….. dia ngelihat berkas online-ku, petugas konsulter itu sempet Tanya: “Kemaren anda sempat mengajukan visa ini di Bahrain dan ditolak?” “Ya” jawabku. Dan tanpa ba bi bu be bo, bahkan dia gak lihat berkas-berkas lainnya (buku rekening, reference letter dan invitation letter dari AMDA) dia langsung bilang “Sorry, we can’t issue your visa. You can find the detail explanation here.” Sambil ngasih lembar kertas warna pink.

“Oh My Godness.” Aku pasrah. Dan dengan langkah gontai-segontai langkahku waktu itu di US Embassy Manama, Bahrain. Aku kembali ke Hotel dan packing barang, check-out dan meluncur menuju kost salah satu sahabat terbaikku di Jakarta: Jonathan.

Waktu turun dari Taksi, aku langsung ngeliat sosok Jo dari belakang. Aku teriak dan kami berpelukan.

“Joooo… gue pulang!”

Setahun lebih kami berpisah. Dan ada beribu cerita yang harus kuceritakan padanya. Oya, Turkish Delight yang merupakan satu-satunya oleh-oleh makanan yang aku beli di Abu Dhabi yang ternyata rasanya aneh banget menemani nostalgia dan cerita-cerita kami.

Aku masih percaya, Tuhan masih merencanakan kisah lain yang akan kutulis di blog ini…

Idul Fitri di Bahrain: Takbir diantara Hamparan Gurun Pasir

“Allaaaahuakbar… Allaaaahuakbar… Allaaaahuakbar. Laaailaaahailallaaaahuallaaahuakbar. Allaaahuakbar, walillaaahilham..”

Sayup-sayup terdengar suara takbir di penjuru Negeri di Teluk Persia itu. Sang Surya baru saja terbit, belum sampai setinggi tiang bendera. Tapi suhu udara sudah melewati angka jauh diatas 30 derajat celcius. Hari ini aku libur. Syukurlah. Dengan berbusana thawb khas Arab yang beberapa minggu lalu aku beli di LuLu Hypermarket, aku mantapkan kaki berjalan diantara teriknya Matahari pagi itu.

Ini bukan kali pertama aku Lebaran Idul Fitri jauh dari kampung halaman, bukan cuma beratus-ratus kilo jaraknya dari rumah – tapi ribuan kilometer. Kalau dulu di Summer 2010 aku merasakan Idul Fitri sebagai kaum muslim minoritas di Amerika Serikat (lihat: Eid Al-Fitr in America) kini, di Kingdom of Bahrain ini aku merasakan sesuatu yang berbeda. Meskipun Islam adalah agama mayoritas disini (Islam Sunni dan Islam Syiah masih seringkali bersitegang karena background sejarah politik di masa lampau), tapi entah mengapa gegap gempita kebagahagiaan datangnya hari kemenangan tidak terasa semeriah dan sebahagia di Indonesia. I mean it. Bahkan tadi malam-pun, tak banyak terdengar takbir yang memecah kesunyian malam. Gak ada juga sih, segerombolan anak-anak berpeci yang sambil keliling kampung mengucap takbir sambil memukul-mukul rebana. Di beberapa shopping mall dan jalanan-jalanan protokol juga gak dihias dengan suasana-suasana lebaran kayak yang ada di Indonesia. Gak ada iklan-iklan di TV yang heboh dan niat ikut menyemarakkan datangnya hari kemenangan. Semua terkesan biasa aja. Mungkin bener kata orang, kalo di Arab, Idul Adha itu katanya lebih meriah daripada Idul Fitri.

Aku sholat Ied di Masjid Saar, yang gak jauh dari flat/apartemen. Berbagai orang dari bermacam-macam warna kulit dan bau badan yang aneh-aneh semuanya dengan khidmat bersujud di lantai mengucap syukur kehadirat Allah SWT karena kami masih diberi kesempatan untuk hidup mulai dari nol lagi. Bersih. Fitri, bak bayi yang baru lahir.

Bahrain, yang 60% penduduknya adalah imigran atau expatriat memang sangat diverse. Mulai dari bule-bule British yang kerja di korporat, NGO dsb sampe orang-orang Korea yang biasanya kerja di perusahaan minyak atau IT. Mulai dari TKW Indonesia yang bekerja jadi pembantu, sampe tenaga kerja Nepal, Filipina, India, Bangladesh yang biasa kerja di kafe, supermarket ataupun teknisi, sopir dan bahkan buruh-buruh kasar.

 

Aku merasa bersyukur terdampar di tempat ini. Sebuah Negeri yang bahkan namanya aja baru aku dengar seminggu sebelum keberangkatanku kesini. 😀 King Fahd Causeway – jembatan di atas laut yang menghubungkan Saudi Arabia dan Bahrain yang sebelumnya cuma aku baca di Novel ‘1001 Malam’nya Valiant Budi ternyata malah jadi bagian hidupku selama beberapa bulan kedepan. What a life! You’ll never know what lies ahead!

Semoga aku nanti masih rajin menulis hal-hal aneh dan unik yang kutemui di Negeri ini. Perjalananku masih panjang. Aku tahu aku masih jauh dari mimpiku. But here I am, I will make the most of it to be memorable and meaningful.

Selamat Idul Fitri 1434 Hijriah. Taqoballahumina wa minkum, Taqabbal ya kariim. Mohon Maaf Lahir Batin!

Budaiya, 8 Agustus 2013

Sebuah Perpisahan : “Good Bye Indonesia, Hello The World!”

“Sometimes, it seems like I always run away from everything. Sometimes, it feels like i want to run further and further and never looking back. It’s like, i’m on the edge of a cliff and i just wanna jump away, fall into the deep. Sink. And never seen again. But I can’t. I will always fall into the same hole. I will always stop by the same shelter like before..”

005It’s been so long since the last time I wrote this blog. Thousands miles I’ve been traveled, hundred people I’ve met and yet I’m arrived at my destination.

But today, this time, I eventually update this blog again telling people and my friends where I am at the moment, what I’m doing or where I’m heading to.

Here, i just wanna say THANK YOU for every single thing you guys done for me so far. My family, my mom and dad at home (I’m sorry i’ve spent so much money and energy from you guys in the past one year), my college friends at Binus University (Even though it was only few weeks or few months to be there, but thanks guys for being good friends and company while I was there, I’ve found some of my besties and Jakarta will always be one of the most memorable and the the toughest memory in my life. I’m so sorry guys I didn’t make a proper goodbye), then I have to say big thanks to my co-workers in Starbucks Bali (we did have a good time and you guys inspired me a lot while staying on that beautiful paradise island). And last but not least, my couchsurfing friends both  from Bali and around the world, thankyou for being a part of my life. U guys changed they way i see the world and see my life.

So, here is my story I’d like to share to you guys.

August 2012,

I moved to Jakarta, to bee a student of Binus University Class of 2016 as “The Widia Scholarship” scholar. But i only attended the classes for two weeks or so then I decided to take German Course in Goethe Institut Jakarta. Yep. Me and my Mom made a crazy decision: I will continue my college to Germany instead of Jakarta. So i was staying in Binusian Dorm while studying German for three months.

January 2013,

I packed my things back to Malang. At that moment i was still in confusion whether I should continue my German Course in Jakarta or back to Malang. Then finally I got a job as Barista in Starbucks Bali. Thanks God, Barista was one of the jobs I’ve dreamed of and I’m glad it was the first job in my life! (Not bad).

January – April 2013

At this time, I am in the top of confusion and desperation whether I should go to Germany or not. I’ve considered the living cost, the course of study and my future plan. And I’ve made my final decision: I WILL GO BACK TO AMERICA FOR COLLEGE and FOR LIFE. Yea. Sounds even more crazier than before. We all know the College Expenses are not cheap there. Well, it doesn’t matter, i said. The reason why I chose Germany before is because most of colleges in Germany has zero tuition fee (free) even for the International Students. But it was NOT something “I would die for.” Living in Germany, start my career there and considering about everything, I’d rather sell my house and live in The US than sell my car and study in Germany. America is my choice. It is the place where I belong for my adult years. I will do anything to get back there. I would die for it.

May 2014

I’ve completed my application for college in USA. It was one of my college dream since I was in the US: “American Musical and Dramatic Academy” (AMDA) in Los Angeles. Yep. I’ve chose what I want to be for life: “I WILL BE AN ACTOR.” It’s not like Plan B or side job, but it will be my “main job.” I want to be focus on Stage Actor but will be studying for Film Acting as well. I don’t expect to be a huge Hollywood Star like Tom Cruise or  Johnny Depp, I just wanna be a really good actor and teach theater in college. (Sounds good, isn’t it?) Anyway, I was confirmed for the auditon in LA on June 15, 2013. And I was also made an appointment for Visa Interview.

You know, life is a matter of choice. And sometimes, you are faced by a lot of choices. In the night before i depart to Surabaya for my Visa Interview, an overseas workers agency called me and offered me a job interview in Bahrain. Well, how the hell they could call me in a sudden? Yeah, actually some months ago I’ve submit my CV to some agencies for foreign workers as my B Plan in case my student visa to Germany was declined. But, as you know, instead of Germany, I got Bahrain as an option.

Well, it was one of THE HARDEST DECISION in my life in early 2013. Shall I go for the US Visa Interview or Job Interview in Bahrain?

So, here is the deal: I would go for the job interview. If i am accepted, I have to go Bahrain. If not, well it means America is really my destiny.

Guess what? Here i am right now, writing again my blog facing The Percian Gulf, smelling the scent of the dust of Arabian Desert.

IMG_4596

“Anything does happen for a reason, I don’t believe in coincidence.  Even though it is hard to understand why I am here, why I am meeting these people, but there got to be a reason for that. I believe life is a gift. And i don’t intend on wasting it. Life is a journey. And every time you’ve reached some point, you only stop by in a terminal. And all you need to do is keep going to the next terminals until the end.”

I do believe in My God and My Dreams.

But sometimes, i wonder: “Would this happen to me if I never been to America  three years ago?”

“Would it be a different story?”

“Would I stay in Jakarta if I was accepted as a student in University of Indonesia?”

“Would I make this brave decision if i was not falling in love with someone out there?”

Well, sometimes all you need to do is open your eyes wildly and breath. Breath. Just relax. Enjoy every single air that coming to your lungs. And let it go.

It is so sad that I have to leave my country, my family and my friends in a sudden and I didn’t even have a proper goodbye ( I haven’t do hiking to Mount Semeru, the highest point of Java 😦 and I haven’t say goodbye to my Jakartans and pick up some leftovers in my dorm).

But well, that is life. You’ve got to be ready.

I will NEVER EVER EVER EVER EVER EVER GIVE UP. I will always chase my dreams no matter what happen.

I keep trying to get to AMDA in LA or any other colleges in Performing Arts while saving some Dinars in this country. I will go to Mecca to perform Umrah (Inshaallah) before flying back to US. Maybe next year or the year after.

Please pray for me and forgive me for all my mistakes.

I’ve made my promise: “I WILL NOT GO BACK TO INDONESIA BEFORE I ACCOMPLISH MY DREAM IN USA.”

I will miss Indonesia and will always miss my country.

Goodbye Indonesia, Hello The World…

Persian Gulf,

Bahrain

068

25 July 2013

Dari Jakarta, Bali terus ke Jerman, eh Bahrain!

manama_bahrain_cbd

Terkadang, hidup itu penuh dengan kejutan-kejutan yang tak terbayangkan dalam benak kita sebelumnya. Hal-hal absurd dan fantasi-fantasi semu yang kadang terngiang di otak kita tapi tiba-tiba saja bisa jadi kenyataan. Hidup memang-lah paradoks antara mimpi, harapan dan kenyataan yang saling bersinggungan.

Baru seminggu lalu aku selesei baca novelnya Valiant Budi: “Kedai 1001 Mimpi” yang menceritakan tentang kisah-kisah langka dan uniknya selama kerja di Arab Saudi dan menemukan hal-hal menakjubkan luar biasa yang ia sendiri sampai sekarang mungkin masih “shock” dengan semua itu. Hahaha.. 😀

bahrain_king_bridge_HH_800px_02460856Baru aja seminggu yang lalu aku ngebayangin bentuk “jembatan kebebasan” yang diceritakan di novelnya itu: Jembatan King Fahd Causeway, penghubung antara Saudi Arabia dan Bahrain yang konon katanya dinamakan kayak gitu sebagai simbol “kebebasan” orang-orang Arab Saudi yang merasa terkekang sama peraturan Negeri-nya yang konservatif itu. Jadi segala sesuatu yang diharamkan di Saudi Arabia bisa jadi halal kalo udah lewat jembatan itu, karena Bahrain adalah Negara yang lebih “bebas.”

Aneh bin ajaib, sore tadi aku akhirnya melihat dengan kepalaku sendiri bahkan melewati jembatan yang dua minggu lalu itu cuma aku lihat gambarnya di “Kedai 1001 Mimpi.” Yup. Entah kebetulan, takdir atau apalah, akhirnya aku bernasib sebelas duabelas ama Valiant Budi untuk bekerja di tanah 1001 Mimpi ini. Cuman, kalo aku bakal berhadapan dengan Bahrain yang sedikit lebih bebas dibandingkan Kerajaan Arab Saudi.

Nah lho, gimana ceritanya gue bisa nyasar di Negeri Abu Nawas ini yak? Jadi begini ceritanya saudara-saudara:

Desember 2012 saya memutuskan drop out dari Binus University karena memang waktu itu udah sempet ambil kursus Bahasa Jerman super intensif di Goethe Institut Jakarta (dengan rencana mau kuliah di Jerman). Tapi setelah dipikir-pikir karena persyaratan kuliah yang ribet (masih harus kursus minimal setahun dan bla bla bla) dan ternyata emang dari niat gak ada kemauan kuat buat kuliah di Jerman, akhirnya gue iseng-iseng cari bursa lamaran kerja keluar Negeri dan melampirkan sertifikat Bahasa Jerman yang masih A-2 itu siapa tahu bisa dapet kerjaan atau at least Au Pair di Jerman. Jujur gue jenuh banget waktu itu karena Reverse Culture Shock gue dari Amerika belum pulih bener-bener jadi pengennya kebelet keluar Negeri aja pokoknya. Nah, salah satu Agency pekerja itu udah ngejanjiin kalo bakal ada kerjaan di Jerman asal bayar sekian belas juta rupiah. Oke. Asalkan biayanya jelas dan logis aku udah nyanggupin. Eh, tiba-tiba mereka bilang: “Maaf mas, ternyata tidak ada lagi peluang buat kerja di Eropa. Adanya di Bahrain. Mau?” JLEB. Denger nama Negara itu aja kayaknya baru sekali, terus gue harus bilang apa?

“I believe anything does happen for a reason.”

Never ever regret anything that happened in your life, because at one time, you deserved it.” 

Mama sempet shock waktu denger pengakuanku bahwa aku sedang mendaftarkan diri menjadi seorang TKI. Tapi setelah berhasil bujuk membujuk ala Hadi akhirnya mama pasrah. Sejam setelah wawancara sama user dari Bahrain, rasanya gue mau nangis. Bukannya takut gak diterima, tapi gue takut kalo gue udah ambil keputusan yang salah dalam hidup gue. Gue yakin, Tuhan tahu segalanya. Gue pasrah. Disaat yang sama gue udah coba daftar kuliah di American Musical and Dramatic Arts (AMDA) Los Angeles ambil Teater. Gue tahu rasanya gak mungkin banget gue sanggup balik ke Amrik dan kuliah disana kalo bukan beasiswa atau dapet rejeki nomplok dibiayai host family gue yang di Indiana.

Nah, sambil nunggu nasib berkata apa, kebetulan ada temen yang kasih info kalo ada lowongan kerja jadi Barista Starbucks di Bali akhirnya langsung aku sambet. Karena menjadi barista sudah terlanjur tercantum di Lembar Target Hidup seorang Hadiansyah Aktsar.

Januari 2013, saya resmi pindah ke Bali menjadi seorang barista. Menikmati indahnya pulau Dewata sambil meracik kopi dan mengepel lantai. Masih inget banget momen-momen indah waktu gue harus bikin Double Vanilla Cappuccino sambil nikmatin sunset dan deburan ombak Pantai Kuta yang saling mengejar diantara para peselancar yang menungganginya. Karena kebetulan tempat kerja gue pas dapet di Starbucks Kutabex yang langsung ngehadap Pantai Kuta! Wow! B-)

DSC_0179Di Bali, gue sempet aktif di Couchsurfing (komunitas backpacker dunia) dan kost gue di Bali sempat jadi tebengan bule-bule dari Jerman dan Rusia sampe gue diomelin abis-abisan ama Ibu Kost. Tapi gue bersyukur bisa kenal Igor dari Rusia dengan prinsip dan gaya hidupnya yang jauh beda ama gue, yang gak pernah kepikiran di benak gue. Atau si Alina dan Anna dari Jerman yang enerjik dan semangat buat ngejelajahin dunia meskipun mereka cewek. Atau si Alex yang ganteng plus jenius dan gak pelit. Yang ngingetin gue bahwa masa muda emang masa-masa paling indah. Gue bersyukur bisa kenal mereka semua. Rasanya akhirnya gue bener-bener “hidup”. I could really celebrate my life and see the world differently. Bahkan pengalaman exchange setahun di Amerika serasa semakin lengkap setelah jadi host bule-bule ini walau cuma dalam hitungan beberapa hari atau minggu.

Balik ke laptop, Nah, ternyata Valiant Budi gak bohong. Agency TKI itu kadang emang ngawur seenak udel mereka sendiri. Suatu hari, aku ditelfon: “Halo… Dengan mas Hadiansyah? Mas, selamat ya visanya buat kerja di Bahrain udah siap. Tiga hari pesawatnya berangkat dari Jakarta.” WHATTTT??? Mereka ini kasih informasi berangkat keluar Negeri kayak mau ngajak ke mall aja. Walhasil, detik selanjutnya gue langsung telfon Store Manajer gue dan bilang “Maaf mbok, saya mulai besok resign. Soalnya saya ada panggilan kerja di luar Negeri!”

*****

Manama, 17 Mei 2013

Kenapa sih tiap gue berangkat keluar negeri selalu dapet pesawat yang service-nya itu lho, Masya Allah! :/ Dulu berangkat ke Amerika pake Lufthansa yang inflight entertainmentnya cuma musik. Kali ini, kami batch pertama TKI dari Indonesia ke Bahrain dapet perbangan Mihin Lanka (low cost Airline Sri Lanka) dan transit di Colombo. Boro-boro musik, dapet layanan senyum pramugari aja kagak! Yaelah. Ga usah senyum deh, maap yak bukannya memojokkan atau menghina, tapi itu lho, gulung pakaian mereka itu lho.. Para pramugari pake pakaian tradisional macam India yang perut dan pusarnya keliatan. Mending kalo badannya bagus. Udah badannya gak bagus, (bisa dibayangkan sendiri kan?!) mereka gak mau senyum lagi. Makanannya apalagi. Fiuh.. Nasib!

Jakarta-Colombo-Manama ditempuh sekitar 7 jam belum termasuk waktu tunggu pas transit. Cukup terkejut karena ternyata bandara di Bahrain bagus juga. Walu bandaranya kecil, tapi karpetnya setara bandara Changi Singapore.

And here we go.. Akhirnya tibalah kami di Negeri Pulau kecil di ujung teluk Persia. Bahrain terletak di timur Arab Saudi dan sebelah barat lautnya Qatar dan Uni Emirat Arab. Gosipnya, walaupun Negara islam, disini gak se-konservatif dan seketat Arab Saudi. Gak ada yang namanya Polisi Syariah, at least. Alhamdulilah! Penduduknya sendiri lebih didominasi para pendatang dari Negara lain. Yap. 60% penduduk yang tinggal di Bahrain adalah Imigran. Orang India, Bangladesh, Pakistan, Filipina, Nepal, Sri Lanka dan sebagian kecil: Orang Indonesia. Sedangkan expatriat kelas menengah kebanyakan dari Inggris, Italia, Korea Selatan dan Amerika Latin.

Jangan heran, jika anda jalan-jalan ke tengah kota apalagi di Terminal Bus Manama terutama hari Jum’at, maka anda akan merasa seperti di India! Orang-orang berjubah dan berkumis hitam lebat dan berbau badan yang tercium seperti bawang bombay. (Maap bukan bermaksud rasis lagi :p ) Tapi itulah kenyataan. Tak heran, disini Bahasa Inggris justru menjadi bahasa utama. Gak kayak Arab Saudi yang lebih bangga ama Bahasa Arab mereka.

durrat-al-bahrain14

Bahrain juga terkenal dengan paham islamnya yang berbeda dengan kebanyakan Islam di dunia ini. Mereka penganut paham Syi’ah. Dan disini, itulah yang menjadi bumerang. Karena mayoritas penduduk asli adalah Syi’ah tapi Raja yang berkuasa adalah Islam Sunni, maka banyak terjadi demonstrasi dan tindakan anarkis dimana-mana. Demo masa, bakar ban, boikot jalan bahkan bom molotov kecil-kecilan yang diprovokasi sama penduduk lokal sering kali terjadi.

Tapi dibalik semua itu, ternyata Bahrain menyimpan berbagai keindahan dan keunikan. Disini terkenal ama Mutiara dan pantainya yang cukup elok. Mau tau pengalaman dan kisah saya di teluk Persia selanjutnya?

Dan apakah benar orang-orang Arab sangat “unik dan menakjubkan” seperti yang diceritakan Valiant Budi di novelnya “Kedai 1001 Mimpi” ?? Biarlah blog ini menjawabnya!

Putu Wijaya

Bertolak Dari Yang Ada

Website Dewan Perwakilan Anak Kota Malang

"Because We Care of the Child"

What an Amazing World!

Seeing, feeling and exploring places and cultures of the world

The ISA Journal

Anecdotes and tales from ISA students and the latest news in study abroad

Hadiansyah Aktsar Official Site

More than just a blog : a pen, diary and imagination ~